Ekonomi Islam (Studi Pemikiran Abu Ubaid) 3
Kitab Al-Amwal; Sebuah Karya Fenomenal
Kitâb al-‘Amwâl dibagi dalam beberapa bagian dan bab, dimulai dengan bab pendahuluan singkat dari kesepakatan para imam (penguasa) dan subyek satu sama lainnya dengan referensi khusus untuk kebutuhan pemerintahan yang adil. Abû ‘Ubaid mengatakan bahwa seorang pemimpin itu wajib memusyawarahkan keputusan-keputusan ekonomi pada kaum muslimin serta bertanggung jawab atas perekonomian kaum muslimin. Sedangkan rakyat berkewajiban mengontrol pemerintah di dalam melaksanakan kebijakan ekonomi. Beliau juga mengatakan bahwa pelaku ekonomi harus seorang yang bertakwa kepada Allah dan jujur.
Dilanjutkan dengan bab tambahan yang berjudul “jenis penerimaan yang dipercayakan pada imam (penguasa) atas nama publik dan dasar-dasarnya di dalam Kitâb dan Sunnah”. Abû ‘Ubaid memberikan prioritas penerimaan pada masa Nabi seperti fai’ dan alokasinya, diklasifikasikan sebagai tiga sumber penerimaan negara sesudah Nabi. Bagian lainnya dari buku tersebut berbicara tentang penerimaan negara yaitu: fai’, khums, dan shadâqah (zakat), Imam berkewajiban memelihara dan mengalokasikannya pada publik.
Tiga bagian pertama dari buku tersebut meliputi beberapa bab tentang penerimaan fai’. Fai’, menurut Abû ‘Ubaid termasuk dari pendapatan jizyah (poll tax), kharj (pajak tanah), dan ‘usyhur (bea cukai). Sedangkan masalah ghanîmah dibahas tersendiri beserta fidyah (tebusan tawanan perang). Bagian berikutnya (keempat) memperhatikan penalukan-penaklukan wilayah, terdapat juga bab-bab yang membahas pertanahan, administrasi, hukum internasional, dan hukum perang. Sesudah itu bagian kelima membahas tentang distribusi dari fai’, dan bagian keenam yang membahas tentang iqta’, ihya’ al-mawât, dan hima.
Dilanjutkan dengan bab tambahan yang berjudul “jenis penerimaan yang dipercayakan pada imam (penguasa) atas nama publik dan dasar-dasarnya di dalam Kitâb dan Sunnah”. Abû ‘Ubaid memberikan prioritas penerimaan pada masa Nabi seperti fai’ dan alokasinya, diklasifikasikan sebagai tiga sumber penerimaan negara sesudah Nabi. Bagian lainnya dari buku tersebut berbicara tentang penerimaan negara yaitu: fai’, khums, dan shadâqah (zakat), Imam berkewajiban memelihara dan mengalokasikannya pada publik.
Tiga bagian pertama dari buku tersebut meliputi beberapa bab tentang penerimaan fai’. Fai’, menurut Abû ‘Ubaid termasuk dari pendapatan jizyah (poll tax), kharj (pajak tanah), dan ‘usyhur (bea cukai). Sedangkan masalah ghanîmah dibahas tersendiri beserta fidyah (tebusan tawanan perang). Bagian berikutnya (keempat) memperhatikan penalukan-penaklukan wilayah, terdapat juga bab-bab yang membahas pertanahan, administrasi, hukum internasional, dan hukum perang. Sesudah itu bagian kelima membahas tentang distribusi dari fai’, dan bagian keenam yang membahas tentang iqta’, ihya’ al-mawât, dan hima.
Kitâb al-Amwâl secara khusus memusatkan perhatian pada keuangan publik (public finance), akan tetapi dapat dikatakan bahwa sebagian besar materi yang terhimpun di dalamnya membahas administrasi pemerintahan secara umum. Kitâb al-Amwal menekankan beberapa isu mengenai perpajakan dan hukum serta hukum administrasi dan hukum internasional. Hal tersebut membuat kitâb ini menjadi sumber pengembangan yang sangat diperhitungkan untuk pemikiran ekonomi legal pada dua awal abad Islam. Jika merujuk pada format dan metodologi buku tersebut, di dalam setiap babnya. Ayat serta hadis Nabi SAW, kesepakatan pada sahabat, tabi’in serta atba’ tabi’in ditampilkan bersama dengan pendapat ahli fikih.
Abû ‘Ubaid sendiri adalah seorang ahli hadis yang telah lama mendalami ilmu Hadis dan sistematikanya serta melakukan tela’ah mendalam terhadap mata rantai penyampaiannya. Abû ‘Ubaid telah melakukan verifikasi atas hadis-hadis tersebut serta melakukan kritik terhadap mata rantainya jika dipandang perlu. Terkadang ia melakukan penyingkatan beberapa riwayat serta memberikan interpretasi pribadinya dengan tidak menuliskan teks aslinya. Ia membahas hal-hal yang masih diragukan, menjelaskan hal-hal yang kurang jelas tersebut. Kadang-kadang ia mengklasifikasikan isu-isu dan menuliskan atsar yang berhubungan dengannya. Di lain kesempatan, ia mengklasifikasikan atsar beserta kesimpulannya, namun ada beberapa bab yang hanya terdiri dari kumpulan hadis-hadis tanpa disertai komentar atau pembahasan apapun.
Ibrahim al-Harbi (murid dari Abû ‘Ubaid) mengatakan bahwa salah satu titik kelemahan dari kitâb al-Amwâl adalah terletak pada sedikitnya jumlah hadis yang diulas. Sekalipun demikian, tidak adil apabila kita hanya terfokus pada kelemahannya, karena keunggulan Abû ‘Ubaid adalah penguasaannya yang sangat baik terhadap hadis sehingga ia mampu memilih hadis-hadis yang relevan, bahkan beberapa kali Abû ‘Ubaid menyebutkan lebih banyak hadisnya dari pada pembahasannya.
Abû ‘Ubaid adalah pengikut Sunnah Nabi, tetapi ia juga memanfaatkan logika dan memakai rasio (ra’yu). Dalam setiap isu ia selalu mengacu pada atsar (hadis) serta pendapat ulama lainnya mengenai hadis yang berkaitan, kemudian ia melakukan kritik terhadapnya dari sisi kekuatan atau kelemahannya. Kemudian ia memilih salah satu pendapat yang ada ataupun membuat ijtihad sendiri, didukung dengan bukti-bukti. Kadangkala ia membiarkan pembaca kitabnya untuk bebas memilih pandangannya ataupun dari salah satu alternatif dari pandangan yang ia anggap layak. Abû ‘Ubaid dianggap sebagai seorang mujtahid yang independen karena kehandalannya dalam mendeduksi hukum-hukum dari nash (al-Qur’an dan al-Hadis), serta menghasilkan suatu peraturan/kaidah keuangan (financial maxims) yang sistematik, terutama mengenai perpajakan, pada masa pembentukan madzhab hukum.
Referensi utama Abû ‘Ubaid, sebagaimana ulama muslim lainnya, adalah al-Qur’an dan al-Sunnah Nabi, baginya otoritas al-Qur’an adalah di atas al-Hadîs, walaupun sebenarnya al-Hadis adalah penjelasan dari al-Qur’an. Penjelasan dari para sahabat, tâbi’în dan atba’ at-tâbi’în dipandangnya sederajat lebih rendah dibanding hadis, tetapi ia akan mengesampingkannya apabila dipandang bertentangan dengan Hadis; secara prinsip tradisi dari orang lain adalah tidak sebanding jika dihadapkan dengan tradisi Nabi. Dalam kondisi yang terdapat hukum atau keputusan berbeda terhadap kasus yang berulang (sama), apa yang terakhir dilakukan atau diputuskan oleh Nabi Muhammad SAW, itu yang lebih diutamakan. Tingkat pemahaman Abû ‘Ubaid terhadap keduanya (al-Qur’an dan al-Hadis) membuatnya mampu untuk menuangkan keduanya di dalam beberapa buku seperti al-Nâsikh wa al-Mansûkh fi al-Qur’ân al-‘Azîz wamâ fîhi min al Farâ’id wa al-Sunan, Gharîb al-Qur’ân, Ma’âni al-Qur’ân, Gharîb al-Hadîts, yang merupakan penjelasan (tafsîr) dan interpretasi alegorik (ta’wîl) dari al-Qur’ân dan al-Hadîs.
Abû ‘Ubaid mengatakan bahwa aturan umum dari sunnah dapat dispesifikasi dengan sunnah itu sendiri, tidak dengan menggunakan ra’yu (rasio). Sunnah dapat dibatalkan dengan sunnah yang lainnya atau dengan ayat dari al-Qur’an. Sumber ketiga yang digunakan Abû ‘Ubaid adalah ijma’ al-ummah (kesepakatan). Tampak bahwa Abû ‘Ubaid sangat membatasi penggunaan analogi, di mana ia hanya menggunakannya jika tidak terdapat landasan yang jelas dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Hukum untuk kasus-kasus yang mempunyai sifat berbeda tidak boleh dianalogikan (disamakan) satu sama lainnya, sehingga hanya analogi kategoristik dan struktural yang dapat ditemukan dalam metode hukum. Juga setiap hukum dari Sunnah dibatasi untuk hal yang ditentukan (oleh Sunnah itu sendiri) dan tidak dapat dianalogikan (atau disamakan) dengan yang lain.
Abû ‘Ubaid tidak memberikan pandangannya pada suatu kasus jika ia tidak menemukan landasannya di dalam al-Qur’an dan al-Hadis, walaupun begitu ia memberikan tempat bagi maqâshid asy-syarî’ah dalam melakukan ketetapan hukum-hukum. Sehubungan dengan ini, manfaat bagi publik (al-maslahah al-‘âmmah) meruapakan penentu akhir dalam memilih alternatif dari ijtihad. Ia juga membagi keputusan hukum yang kontroversial menjadi terakreditasi dan tidak terakreditasi dengan merujuk pada otoritas dan ulama yang ternama saja. Preferensi Abû ‘Ubaid terhadap pendapat para ulama yang kontroversial yang telah lama diaplikasikan membuktikan bahwa ia memberi ruang pada ta’âmul (hukum adat atau tradisi).
Abû ‘Ubaid sendiri adalah seorang ahli hadis yang telah lama mendalami ilmu Hadis dan sistematikanya serta melakukan tela’ah mendalam terhadap mata rantai penyampaiannya. Abû ‘Ubaid telah melakukan verifikasi atas hadis-hadis tersebut serta melakukan kritik terhadap mata rantainya jika dipandang perlu. Terkadang ia melakukan penyingkatan beberapa riwayat serta memberikan interpretasi pribadinya dengan tidak menuliskan teks aslinya. Ia membahas hal-hal yang masih diragukan, menjelaskan hal-hal yang kurang jelas tersebut. Kadang-kadang ia mengklasifikasikan isu-isu dan menuliskan atsar yang berhubungan dengannya. Di lain kesempatan, ia mengklasifikasikan atsar beserta kesimpulannya, namun ada beberapa bab yang hanya terdiri dari kumpulan hadis-hadis tanpa disertai komentar atau pembahasan apapun.
Ibrahim al-Harbi (murid dari Abû ‘Ubaid) mengatakan bahwa salah satu titik kelemahan dari kitâb al-Amwâl adalah terletak pada sedikitnya jumlah hadis yang diulas. Sekalipun demikian, tidak adil apabila kita hanya terfokus pada kelemahannya, karena keunggulan Abû ‘Ubaid adalah penguasaannya yang sangat baik terhadap hadis sehingga ia mampu memilih hadis-hadis yang relevan, bahkan beberapa kali Abû ‘Ubaid menyebutkan lebih banyak hadisnya dari pada pembahasannya.
Abû ‘Ubaid adalah pengikut Sunnah Nabi, tetapi ia juga memanfaatkan logika dan memakai rasio (ra’yu). Dalam setiap isu ia selalu mengacu pada atsar (hadis) serta pendapat ulama lainnya mengenai hadis yang berkaitan, kemudian ia melakukan kritik terhadapnya dari sisi kekuatan atau kelemahannya. Kemudian ia memilih salah satu pendapat yang ada ataupun membuat ijtihad sendiri, didukung dengan bukti-bukti. Kadangkala ia membiarkan pembaca kitabnya untuk bebas memilih pandangannya ataupun dari salah satu alternatif dari pandangan yang ia anggap layak. Abû ‘Ubaid dianggap sebagai seorang mujtahid yang independen karena kehandalannya dalam mendeduksi hukum-hukum dari nash (al-Qur’an dan al-Hadis), serta menghasilkan suatu peraturan/kaidah keuangan (financial maxims) yang sistematik, terutama mengenai perpajakan, pada masa pembentukan madzhab hukum.
Referensi utama Abû ‘Ubaid, sebagaimana ulama muslim lainnya, adalah al-Qur’an dan al-Sunnah Nabi, baginya otoritas al-Qur’an adalah di atas al-Hadîs, walaupun sebenarnya al-Hadis adalah penjelasan dari al-Qur’an. Penjelasan dari para sahabat, tâbi’în dan atba’ at-tâbi’în dipandangnya sederajat lebih rendah dibanding hadis, tetapi ia akan mengesampingkannya apabila dipandang bertentangan dengan Hadis; secara prinsip tradisi dari orang lain adalah tidak sebanding jika dihadapkan dengan tradisi Nabi. Dalam kondisi yang terdapat hukum atau keputusan berbeda terhadap kasus yang berulang (sama), apa yang terakhir dilakukan atau diputuskan oleh Nabi Muhammad SAW, itu yang lebih diutamakan. Tingkat pemahaman Abû ‘Ubaid terhadap keduanya (al-Qur’an dan al-Hadis) membuatnya mampu untuk menuangkan keduanya di dalam beberapa buku seperti al-Nâsikh wa al-Mansûkh fi al-Qur’ân al-‘Azîz wamâ fîhi min al Farâ’id wa al-Sunan, Gharîb al-Qur’ân, Ma’âni al-Qur’ân, Gharîb al-Hadîts, yang merupakan penjelasan (tafsîr) dan interpretasi alegorik (ta’wîl) dari al-Qur’ân dan al-Hadîs.
Abû ‘Ubaid mengatakan bahwa aturan umum dari sunnah dapat dispesifikasi dengan sunnah itu sendiri, tidak dengan menggunakan ra’yu (rasio). Sunnah dapat dibatalkan dengan sunnah yang lainnya atau dengan ayat dari al-Qur’an. Sumber ketiga yang digunakan Abû ‘Ubaid adalah ijma’ al-ummah (kesepakatan). Tampak bahwa Abû ‘Ubaid sangat membatasi penggunaan analogi, di mana ia hanya menggunakannya jika tidak terdapat landasan yang jelas dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Hukum untuk kasus-kasus yang mempunyai sifat berbeda tidak boleh dianalogikan (disamakan) satu sama lainnya, sehingga hanya analogi kategoristik dan struktural yang dapat ditemukan dalam metode hukum. Juga setiap hukum dari Sunnah dibatasi untuk hal yang ditentukan (oleh Sunnah itu sendiri) dan tidak dapat dianalogikan (atau disamakan) dengan yang lain.
Abû ‘Ubaid tidak memberikan pandangannya pada suatu kasus jika ia tidak menemukan landasannya di dalam al-Qur’an dan al-Hadis, walaupun begitu ia memberikan tempat bagi maqâshid asy-syarî’ah dalam melakukan ketetapan hukum-hukum. Sehubungan dengan ini, manfaat bagi publik (al-maslahah al-‘âmmah) meruapakan penentu akhir dalam memilih alternatif dari ijtihad. Ia juga membagi keputusan hukum yang kontroversial menjadi terakreditasi dan tidak terakreditasi dengan merujuk pada otoritas dan ulama yang ternama saja. Preferensi Abû ‘Ubaid terhadap pendapat para ulama yang kontroversial yang telah lama diaplikasikan membuktikan bahwa ia memberi ruang pada ta’âmul (hukum adat atau tradisi).
Selanjutnya klik Pandangan Abû ‘Ubaid Terhadap Ekonomi
Post a Comment for "Ekonomi Islam (Studi Pemikiran Abu Ubaid) 3"