Ekonomi Islam (Studi Pemikiran Abu Ubaid) 2
2. Latar Belakang dan Pendekatannya
Agak sulit melacak latar belakang kehidupan Abû ‘Ubaid, tetapi dari beberapa literatur yang ada mengatakan beliau hidup semasa Daulah Abbasiyah mulai dari Khalifah al Mahdi (158/775 M). Dalam penelitian Nejatullah Siddiqi, masa al Mahdi ini ditemukan tiga tokoh terkenal yang menuliskan karyanya di bidang ekonomi adalah, Abû ‘Ubaid (w.224/834 H), Imâm Ahmad ibn Hambal (164-241 M/780-855 M) serta Harist ibn Asad al Muhâsibi (165-243 H/781-857 M). Sedangkan pada masa Abbasiyah pertama ini keseluruhannya ditemukan lebih dari 200 orang pemikir yang terdiri dari selain fuqaha juga filosof dan sufi. Masa Abbasiyah ini merupakan puncak kegemilangan dunia Islam atau masa renaisance.
Sebagaimana diketahui bahwa dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah dibangun oleh Abû al-Abbâs dan Abû Ja’far al-Manshûr. Puncak keemasan dari dinasti ini terletak pada tujuh khalifah sesudahnya yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hâdi (775-786 M), Harun al-Rasyid (786-809 M), al-Makmûn (813-833 M), al-Mu’tashim (833-842 M), al-Wasiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M). pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan meningkatnya hasil pertambangan seperti emas, perak, tembaga dan besi dimana Bashrah menjadi pelabuhan yang penting. Baghdad merupakan kota yang kosmopolit saat itu, penduduknya sangat heterogen dari berbagai etnis, suku, ras, dan agama.
Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Makmun. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab pun dimulai. Orang-orang dikirim ke Kerajaan Romawi, Eropa untuk membeli “Manuscript”. Pada mulanya hanya buku-buku mengenai kedokteran, kemudian meningkat mengenai ilmu pengetahuan lain dan filsafat. Ia juga banyak mendirikan sekolah. Salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Baitul Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar.
Dinasti Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dengan Bani Umayah. Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang pengetahuan, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir dikenal dua metode yaitu pertama, Tafsir bi al-Ma’tsûr (interpretasi tradisional dengan bersumber dari Nabi dan para sahabat). Kedua, Tafsir bi al-Ra’yi (metode rasional yang lebih banyak bertumpu pada pikiran dari pada hadis dan pendapat sahabat.
Imam mazhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imâm Abû Hanîfah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang kehidupan masyarakatnya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, madzhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional dari pada Hadis. Muridnya, Abû Yûsuf menjadi Qâdhi al-Qudhât di zaman Harun ar-Rasyid. Berbeda dengan Abû Hanîfah, Imâm Mâlik (713-795 M) banyak menggunakan Hadis dan tradisi Masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh ini ditengahi oleh Imâm Syâfi’i (767-820 M) dan Imâm Ahmad ibn Hambal (780-855 M).
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi dikenal dengan nama al-Fazari, sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Dalam kedokteran dikenal nama ar-Râzi dan Ibnu Sina. Dalam bidang optik Abû ‘Ali al-Hasan ibn al-Haitami, yang di Eropa terkenal dengan nama Alhazen. Di bidang matematika terkenal dengan nama Muhammad ibn Mûsa al-Khawarizmi yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu Aljabar. Dalam bidang sejarah terkenal nama al-Mas’udi, yang juga ahli dalam ilmu Geografi.
Abû ‘Ubaid adalah salah seorang dari para fuqaha yang menggeluti bidang ekonomi dalam hal ini aturan keuangan publik. Ia juga banyak menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan selama di Tarsus, di sana ia memperlihatkan kemampuannya dalam hal administrasi dan pencatat diwan resmi. Alih bahasa yang dilakukannya terhadap kata-kata dari bahasa Persi ke bahasa Arab menunjukkan bahwa ia banyak menguasai bahasa tersebut. Menurut Gottschalk, pemikiran Abû ‘Ubaid ada kemungkinan sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abû ‘Amr ‘Abdurrahman ibn ‘Amr al-Azwa’i, karena seringnya pengutipan kata-kata ‘Amr dalam al-Amwâl, serta dipengaruhi oleh pemikiran ulama-ulama Syuriah lainnya selama ia menjadi pejabat di Tarsus.
Awal pemikirannya dalam kitâb al-‘Amwâl dapat ditelusuri dari pengamatan yang dilakukan Abû ‘Ubaid terhadap militer, politik, dan masalah fiskal yang dihadapi administrator pemerintahan di propinsi-propinsi perbatasan pada masanya. Berbeda dengan Abû Yûsuf, Abû ‘Ubaid tidak menyinggung masalah kelangkaan sistemik dan penanggulangannya. Namun, kitâb al-‘Amwâl dapat dikatakan lebih kaya dari kitâb al-Kharaj dari sisi kelengkapan hadis serta kesepakatan-kesepakatan tentang hukum berdasarkan atsar (tradisi asli) dari para sahabat, tabi’în, serta atba’ at-tabi’în. Abû ‘Ubaid tampaknya lebih menekankan standar politik etis penguasa (rezim) daripada membicarakan sarat-sarat efisiensi teknis dan manajerial penguasa. Filosofi Abû ‘Ubaid lebih kepada pendekatan teknis dan profesional berdasarkan aspek etika daripada penyelesaian permasalahan sosio-politis-ekonomis dengan pendekatan praktis.
Dengan tidak menyimpang dari tujuan keadilan dan keberadaban, yang lebih membutuhkan rekayasa sosial, Abû ‘Ubaid lebih mementingkan aspek rasio/nalar dan spiritual Islam yang berasal dari pendekatan holistik dan teologis terhadap kehidupan manusia sekarang dan nantinya, baik sebagai individu maupun masyarakat. Atas dasar itu Abû ‘Ubaid menjadi salah seorang pemuka dari nilai-nilai tradisional, pada abad III hijriah/abad IX M, yang berpendapat bahwa revitalisasi dari sistem perekonomian adalah melalui reformasi terhadap akar-akar kebijakan keuangan serta institusinya dengan berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadis. Dengan kata lain, umpan balik dari teori sosio-politik-ekonomi Islam yang secara umum berasal dari sumber-sumber yang suci, al-Qur’an dan Hadis mendapatkan tempat eksklusif serta terekspresikan dengan kuat pada pemikirannya.
Meskipun fakta menunjukkan bahwa Abû ‘Ubaid adalah seorang ahli fikih yang independen, moderat, dan handal dalam berbagai bidang keilmuan membuat beberapa ulama Syafi’i dan Hambali mengklaim bahwa Abû ‘Ubaid adalah berasal dari kelompok madzhab mereka. Tetapi dalam kitâb al-Amwâl tidak ada disebut nama Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Idris asy-Syâfi’i maupun nama Ahmad ibn Hambal, melainkan ia sangat sering mengutip pandangan Mâlik ibn Anas dan pandangan sebagian besar ulama madzhab Syafi’i lainnya. Ia juga mengutip beberapa ijtihad Abû Hanîfah, Abû Yûsuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani.
Sementara itu tuduhan yang dilontarkan oleh Husain ibn Ali al Karabisi seperti yang dikemukakan oleh Hasan ibn Rahmân ar-Ramhurmudzi, bahwa Abû ‘Ubaid melakukan plagiat terhadap kitâb fikih karyanya dari pandangan dan persetujuan asy-Syâfi’i, adalah sangat sulit untuk dibuktikan kebenarannya, hal itu bukan hanya karena Abû ‘Ubaid dan asy-Syâfi’i belajar dari sumber yang sama tetapi mereka juga belajar satu sama lainnya, sehingga tidak mustahil jika terdapat kesamaan atau hubungan dalam pandangan-pandangan mereka. Bahkan, kadangkala Abû ‘Ubaid mengambil posisi yang berseberangan dengan asy-Syâfi’i tanpa menyebut nama.
Agak sulit melacak latar belakang kehidupan Abû ‘Ubaid, tetapi dari beberapa literatur yang ada mengatakan beliau hidup semasa Daulah Abbasiyah mulai dari Khalifah al Mahdi (158/775 M). Dalam penelitian Nejatullah Siddiqi, masa al Mahdi ini ditemukan tiga tokoh terkenal yang menuliskan karyanya di bidang ekonomi adalah, Abû ‘Ubaid (w.224/834 H), Imâm Ahmad ibn Hambal (164-241 M/780-855 M) serta Harist ibn Asad al Muhâsibi (165-243 H/781-857 M). Sedangkan pada masa Abbasiyah pertama ini keseluruhannya ditemukan lebih dari 200 orang pemikir yang terdiri dari selain fuqaha juga filosof dan sufi. Masa Abbasiyah ini merupakan puncak kegemilangan dunia Islam atau masa renaisance.
Sebagaimana diketahui bahwa dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah dibangun oleh Abû al-Abbâs dan Abû Ja’far al-Manshûr. Puncak keemasan dari dinasti ini terletak pada tujuh khalifah sesudahnya yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hâdi (775-786 M), Harun al-Rasyid (786-809 M), al-Makmûn (813-833 M), al-Mu’tashim (833-842 M), al-Wasiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M). pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan meningkatnya hasil pertambangan seperti emas, perak, tembaga dan besi dimana Bashrah menjadi pelabuhan yang penting. Baghdad merupakan kota yang kosmopolit saat itu, penduduknya sangat heterogen dari berbagai etnis, suku, ras, dan agama.
Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Makmun. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab pun dimulai. Orang-orang dikirim ke Kerajaan Romawi, Eropa untuk membeli “Manuscript”. Pada mulanya hanya buku-buku mengenai kedokteran, kemudian meningkat mengenai ilmu pengetahuan lain dan filsafat. Ia juga banyak mendirikan sekolah. Salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Baitul Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar.
Dinasti Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dengan Bani Umayah. Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang pengetahuan, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir dikenal dua metode yaitu pertama, Tafsir bi al-Ma’tsûr (interpretasi tradisional dengan bersumber dari Nabi dan para sahabat). Kedua, Tafsir bi al-Ra’yi (metode rasional yang lebih banyak bertumpu pada pikiran dari pada hadis dan pendapat sahabat.
Imam mazhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imâm Abû Hanîfah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang kehidupan masyarakatnya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, madzhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional dari pada Hadis. Muridnya, Abû Yûsuf menjadi Qâdhi al-Qudhât di zaman Harun ar-Rasyid. Berbeda dengan Abû Hanîfah, Imâm Mâlik (713-795 M) banyak menggunakan Hadis dan tradisi Masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh ini ditengahi oleh Imâm Syâfi’i (767-820 M) dan Imâm Ahmad ibn Hambal (780-855 M).
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi dikenal dengan nama al-Fazari, sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Dalam kedokteran dikenal nama ar-Râzi dan Ibnu Sina. Dalam bidang optik Abû ‘Ali al-Hasan ibn al-Haitami, yang di Eropa terkenal dengan nama Alhazen. Di bidang matematika terkenal dengan nama Muhammad ibn Mûsa al-Khawarizmi yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu Aljabar. Dalam bidang sejarah terkenal nama al-Mas’udi, yang juga ahli dalam ilmu Geografi.
Abû ‘Ubaid adalah salah seorang dari para fuqaha yang menggeluti bidang ekonomi dalam hal ini aturan keuangan publik. Ia juga banyak menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan selama di Tarsus, di sana ia memperlihatkan kemampuannya dalam hal administrasi dan pencatat diwan resmi. Alih bahasa yang dilakukannya terhadap kata-kata dari bahasa Persi ke bahasa Arab menunjukkan bahwa ia banyak menguasai bahasa tersebut. Menurut Gottschalk, pemikiran Abû ‘Ubaid ada kemungkinan sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abû ‘Amr ‘Abdurrahman ibn ‘Amr al-Azwa’i, karena seringnya pengutipan kata-kata ‘Amr dalam al-Amwâl, serta dipengaruhi oleh pemikiran ulama-ulama Syuriah lainnya selama ia menjadi pejabat di Tarsus.
Awal pemikirannya dalam kitâb al-‘Amwâl dapat ditelusuri dari pengamatan yang dilakukan Abû ‘Ubaid terhadap militer, politik, dan masalah fiskal yang dihadapi administrator pemerintahan di propinsi-propinsi perbatasan pada masanya. Berbeda dengan Abû Yûsuf, Abû ‘Ubaid tidak menyinggung masalah kelangkaan sistemik dan penanggulangannya. Namun, kitâb al-‘Amwâl dapat dikatakan lebih kaya dari kitâb al-Kharaj dari sisi kelengkapan hadis serta kesepakatan-kesepakatan tentang hukum berdasarkan atsar (tradisi asli) dari para sahabat, tabi’în, serta atba’ at-tabi’în. Abû ‘Ubaid tampaknya lebih menekankan standar politik etis penguasa (rezim) daripada membicarakan sarat-sarat efisiensi teknis dan manajerial penguasa. Filosofi Abû ‘Ubaid lebih kepada pendekatan teknis dan profesional berdasarkan aspek etika daripada penyelesaian permasalahan sosio-politis-ekonomis dengan pendekatan praktis.
Dengan tidak menyimpang dari tujuan keadilan dan keberadaban, yang lebih membutuhkan rekayasa sosial, Abû ‘Ubaid lebih mementingkan aspek rasio/nalar dan spiritual Islam yang berasal dari pendekatan holistik dan teologis terhadap kehidupan manusia sekarang dan nantinya, baik sebagai individu maupun masyarakat. Atas dasar itu Abû ‘Ubaid menjadi salah seorang pemuka dari nilai-nilai tradisional, pada abad III hijriah/abad IX M, yang berpendapat bahwa revitalisasi dari sistem perekonomian adalah melalui reformasi terhadap akar-akar kebijakan keuangan serta institusinya dengan berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadis. Dengan kata lain, umpan balik dari teori sosio-politik-ekonomi Islam yang secara umum berasal dari sumber-sumber yang suci, al-Qur’an dan Hadis mendapatkan tempat eksklusif serta terekspresikan dengan kuat pada pemikirannya.
Meskipun fakta menunjukkan bahwa Abû ‘Ubaid adalah seorang ahli fikih yang independen, moderat, dan handal dalam berbagai bidang keilmuan membuat beberapa ulama Syafi’i dan Hambali mengklaim bahwa Abû ‘Ubaid adalah berasal dari kelompok madzhab mereka. Tetapi dalam kitâb al-Amwâl tidak ada disebut nama Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Idris asy-Syâfi’i maupun nama Ahmad ibn Hambal, melainkan ia sangat sering mengutip pandangan Mâlik ibn Anas dan pandangan sebagian besar ulama madzhab Syafi’i lainnya. Ia juga mengutip beberapa ijtihad Abû Hanîfah, Abû Yûsuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani.
Sementara itu tuduhan yang dilontarkan oleh Husain ibn Ali al Karabisi seperti yang dikemukakan oleh Hasan ibn Rahmân ar-Ramhurmudzi, bahwa Abû ‘Ubaid melakukan plagiat terhadap kitâb fikih karyanya dari pandangan dan persetujuan asy-Syâfi’i, adalah sangat sulit untuk dibuktikan kebenarannya, hal itu bukan hanya karena Abû ‘Ubaid dan asy-Syâfi’i belajar dari sumber yang sama tetapi mereka juga belajar satu sama lainnya, sehingga tidak mustahil jika terdapat kesamaan atau hubungan dalam pandangan-pandangan mereka. Bahkan, kadangkala Abû ‘Ubaid mengambil posisi yang berseberangan dengan asy-Syâfi’i tanpa menyebut nama.
Selanjutnya klik Kitâb al-Amwâl: Sebuah Karya Fenomenal
Post a Comment for "Ekonomi Islam (Studi Pemikiran Abu Ubaid) 2"