Kompleksitas Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Syari'ah di Indonesia
- Menjual bawah tangan secara langsung;
- Menjual lelang sendiri oleh krediturnya, tanpa campur tangan kantor lelang;
- Menjual lewat kantor lelang tanpa perlu campur tangan pengadilan;
- Fiat eksekusi Pengadilan;
- Eksekusi dengan gugatan perdata biasa melalui Pengadilan;
Ketentuan Pasal 6 UU Nomr 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (selanjutnya disingkat HT) memungkinkan adanya pelaksanaan eksekusi HT dengan cara parate eksekusi. Parate eksekusi diartikan sebagai eksekusi HT tanpa pertolongan hakim, tanpa fiat eksekusi, bila debitur cidera janji. Akan tetapi pelaksaan parate eksekusi ini terkendala dengan Pasal 26 UU Hak Tanggungan, maka saat ini pelaksanaan eksekusi HT dilaksanakan sebagaimana maksud Pasal 224 HIR yaitu atas perintah Ketua Pengadilan. Hal ini dapat ditemukan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 3021 K/Pdt/1984 tanggal 30 Juni 1984, di mana dinyatakan pelaksanaan parate eksekusi batal demi hukum. Hal ini dikarenakan parate eksekusi berdasarkan Pasal 20 ayat (1) huruf b KUH Perdata jo. Pasal 11 ayat (2) huruf e tetap memerlukan fiat eksekusi pengadilan (Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah; Teori dan Praktik, 2017).
Kewenangan Pengadilan Agama dalam Ekseskusi Hak Tanggungan secara yuridis terdapat dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006. Di sana dinyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, danm menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam, atau yang menundukkan diri pada hukum Islam (asas personalitas keislaman), salah satunya dalam perkara ekonomi syariah. Penjelasan orang-orang yang beragama Islam dalam UU tersebut juga termasuk orang atau badan hukum yang dengan sukarela menundukkan diri kepada hukum Islam dalam hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama (Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah; Penemuan dan Kaidah Hukum, 2018).
Kewenangan tersebut semakin diperkuat dengan lahirnya Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 55 ayat (1) bahwa penyelesaian sengketa di bidang Perbankan Syariah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkup Pengadilan Agama. Dengan demikian, eksekusi hak tanggungan yang merupakan bagian dari akad antara kreditur dan debitur, jika dilaksanakan dalam koridor hukum ekonomi syariah, maka sudah pasti menjadi wewenang Pengadilan Agama.
Akan tetapi kelahiran UU tentang Perbankan Syariah juga melahirkan dualisme hukum dalam penyelesaian sengketa di bidang litigasi. Melibatkan Peradilan Agama dan Peradilan Umum. Kerancuan tersebut kemudian dihilangkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PPU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013 yang menyatakan penjelasan Pasal 55 ayat (2) inkonstitusional. Dengan demikian per tanggal 29 Agustus 2013 setiap Hak Tanggungan yang melekat pada akad syariah merupakan kewenangan Pengadilan Agama. Sulthani Muhdali sebagaimana dikutip Amran Suadi menyatakan bahwa pada dasarnya hak tanggungan merupakan perjanjian assessor terhadap perjanjian pokok. Jika perjanjian pokoknya berakad syariah maka tentu kewenangan eksekutorial terkait hak tanggungannya adalah milik Pengadilan Agama (Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah; Penemuan dan Kaidah Hukum, 2018).
Hal yang menjadi sorotan sampai saat ini adalah, masih belum adanya aturan hukum acara khusus yang mengatur pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan di Peradilan Agama. Sehingga berdasarkan Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989, maka hukum acara yang diberlakukan adalah hukum acara yang dipraktikkan di lingkungan Peradilan Umum. Dengan demikian payung hukum yang dipakai masih UU nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan UU Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Beberapa Putusan Mahkamah Agung tentang Eksekusi Hak Tanggungan Syariah dapat dilacak dari putusan-putusan berikut ini:
- Putusan Mahkamah Agung Nomor 192 K/Ag/2017
- Putusan Pengadilan Agma Klaten Nomor 1676/Pdt.G/2015/PA.Klt
- Putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang Nomor 183/Pdt.G/2016/PTA.Smg.
Post a Comment for " Kompleksitas Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Syari'ah di Indonesia"